OBROLAN RINGAN DI KAMPUS:MY FRIEND SAID: DON’T BE AN ATHEIS BECAUSE WE CAN’T EXPLAIN WHY HUMAN CAN FALL IN LOVE!

relationship-main_fullSaya mendapatkan bahan yang saya kira menarik untuk dibagi dan diceritakan. Saya sengaja memberi judul tulisan ini dengan kalimat “Obrolan Ringan di Kampus” karena memang demikian bahan ini muncul melalui killing time conversation antara saya dengan beberapa teman saya.

Berawal ketika saya bersama dengan dua orang teman sedang menunggu jam kuliah, kami duduk di pelataran halaman kampus dan mengobrol hingga waktu kuliah berikutnya tiba. Tengah-tengah mengobrol, salah satu teman meninggalkan kami untuk melakukan sholat di tempat yang berada agak jauh dari tempat kami duduk. Sambil meninggalkan kami, ia mengeluh akan tempatnya yang jauh tetapi ia tetap terbeban akan kewajiban yang harus ia jalankan. Menjawab keluhannya, saya berkomentar bahwa lebih enak menjadi seorang atheis karena tidak perlu terikat dengan kewajiban-kewajiban apapun yang harus dijalankan. Teman saya yang lain menanggapi dengan spontan, “Jangan menjadi atheis, karena kita ga bisa jelasin kenapa kita bisa jatuh cinta.” Saya tidak menanggapi kembali komentarnya tersebut tetapi saya menjadi berpikir,

“Benarkah kita tidak bisa menjelaskan mengapa manusia bisa jatuh cinta?”

Jawaban sederhana saya dapat beberapa hari kemudian. Saya melihat teman saya lewat sambil membawa sebuah buku dan saya bertanya buku apa yang ia bawa. Ia menjawab bahwa buku yang ia bawa adalah buku yang baru saja dibelinya beberapa hari yang lalu dan pada akhirnya ia menjelaskan secara garis besar isi dari buku tersebut. Dari penjelasannya tersebutlah saya mendapatkan jawaban

Emosi yang dirasakan manusia timbul disebabkan oleh susunan-susunan hormon yang terdapat dalam tubuh manusia. Seperti perasaan tenang dan santai disebabkan oleh serotonin. Ketika manusia kekurangan cairan serotonin, manusia tersebut akan merasakan stress hingga mungkin menjadi depresi bahkan kegilaan. Dalam memunculkan perasaan jatuh cinta, ada beberapa hormon yang mengambil peranan sehingga manusia bisa merasakan perasaan jatuh cinta itu. Hormon-hormon yang berperan tersebut adalah dopamine, norepinephrine dan pheromone. Setiap hormon memiliki peranan yang berbeda. Hormon dopamine berperan sebagai “pleasure chemicals”. Hormon ini membuat timbulnya perasaan bahagia yang luar biasa. Sedangkan, hormon norepinephrine bekerja mirip dengan hormon adrenaline. Ia memicu jantung, pembulu darah dan kelenjar keringat sehingga manusia bisa mengalami gejala deg-degan, keringat dingin dan lainnya.

Otak kita pada saat sedang jatuh cinta akan merangsang keluarnya hormon dopamine dan norepinephrine yang sangat banyak. Namun, kita juga akan mengalami penurunan level penyaluran rangsang di antara sel-sel otak. Hal ini menyebabkan kita lalu memendam perasaan dan berujung pada harapan dan khayalan. Bahkan hal ini dapat berujung pada obsesi. Pada saat inilah, pheromone mengambil bagian. Pheromone memberikan keberanian bagi kita untuk melakukan pendekatan dan seterusnya.

Saat kita sudah berada di level berpacaran, atau bisa saja belum, kita akan merasakan timbulnya nafsu seksual. Nafsu ini dipicu dari hormon testosteron dan estrogen. Kemudian, pada perasaan nafsu ini, akan mendapat intervensi lagi oleh hormon oxytocin dan vasopressin. Hormon oxytocin yang terbentuk pada dasar otak dan disimpan dalam daun telinga belakang ini menimbulkan efek creating an emotional bond. Membuat rasa penasaran bertambah  dari menit ke menit pada saat akan berhubungan seksual. Sedangkan hormon vasopressin “membantu” hormon oxytocin dengan cara meningkatkan nafsu birahi.

Fungsi lain dari pheromone adalah memastikan bahwa individu termasuk binatang hanya merespon kepada feromon lain yang datang dari individu lain tetapi dalam spesies yang sama. Kedua hormon ini yang menyebabkan mengapa kita hanya tertarik kepada sesama manusia namun tidak terhadap spesies lain selain manusia seperti bangsa kera yang merupakan kerabat terdekat dengan manusia.

Kemudian, tidak semua dopamine mendapat respon penerimaan dari individu. Dopamine juga dapat memilih dopamine mana yang ingin direspon dan mana yang tidak. Dopamine memiliki kecendrungan untuk semakin merespon dopamine lain yang datang dari individu yang memiliki susunan gen yang semakin berbeda. Apabila susunan gen antara dua individu semakin berbeda tetapi bentuknya semakin bersifat reflektif, maka kecendrungan dopamine untuk merespon semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan mengapa manusia sulit (bukan tidak mungkin) untuk jatuh cinta kepada saudara atau kerabatnya sendiri, karena semakin dekat hubungan kekerabatan maka susunan gen semakin terdapat kemiripan.

Persediaan Dopamine juga mungkin dapat habis dan tehenti produksinya dalam tubuh manusia. Hal ini bisa menerangkan mengapa seseorang yang sudah saling mencintai satu sama lain bisa hilang perasaannya lama-kelamaan. Namun, usaha yang bisa dilakukan untuk mempertahankan dopamine tersebut adalah dengan memperbaharui hubungan ketika mulai terasa membosankan. Misalnya dengan merubah pola hubungan, mengunjungi tempat baru dan sebagainya.

Akhirnya saya mendapatkan jawaban untuk membalas komentar teman saya itu. Namun, saya tidak akan mengatakan kepadanya jawaban yang saya dapat untuk menjelaskan mengapa manusia dapat jatuh cinta, karena saya tidak ingin disalahkan apabila akhirnya ia menjadi atheis hanya karena ia telah memiliki jawaban tersebut dari saya.

Tag:

5 Komentar to “OBROLAN RINGAN DI KAMPUS:MY FRIEND SAID: DON’T BE AN ATHEIS BECAUSE WE CAN’T EXPLAIN WHY HUMAN CAN FALL IN LOVE!”

  1. gue masih ga ngerti hubungannya sih…

  2. Beberapa rekan teis pernah mengirimi saya sebuah cerita fiktif tentang seorang professor ateis yang didebat oleh siswanya. Ceritanya sang professor tidak percaya tuhan ada karena ia tidak terlihat. Sang anak yang cerdas mengatakan kalau sang profesor tidak punya otak, karena otak sang profesor tidak kelihatan. Versi lain yang lebih formal dari rekan teis mengatakan kalau angin tidak dapat dilihat, apakah ini berarti tuhan tidak ada? Dan yang lain mengatakan kita bukan hanya tidak dapat melihat cinta, harapan, kasih sayang atau segala jenis emosi, tetapi sains juga tidak dapat mendeteksinya, apakah ini berarti itu semua tidak ada. Bila tuhan tidak ada, berarti otak anda, angin, dan cinta juga tidak ada.”

    Gagasan ini disentuh pula dalam film “Contact”. Entah Carl Sagan iseng membuat novelnya lebih netral, ataukah karena sang sutradara memberikan nilai jual dengan memasukkan argument ini ke dalam filmnya, saya tidak tahu. Mungkin rekan ateis yang pernah membaca novel aslinya bisa berkomentar. Dalam film ini, Ellie Arroway menuntut bukti adanya tuhan, dan Palmer Joss menjawab dengan bertanya kepadanya, apakah ia dapat membuktikan kalau ia mencintai ayahnya.

    Bila anda tidak teliti, argument di atas kelihatan sangat meyakinkan. Tentu saja, ada hal-hal yang sesungguhnya memang ada, dan tuhan seperti itu juga. Namun argumen itu memiliki dua kelas entitas: benda yang tidak dapat dilihat, dan keadaan pikiran, dan menganggap kalau tuhan termasuk dalam salah satu kelas tersebut.
    Mari pikirkan benda tak terlihat lainnya: udara, angin, magnet, radiasi, listrik tegangan rendah, gas hidrogen. ”Anda tidak dapat melihatnya kan?” Mungkin, namun kenapa menekankan tiba-tiba pada indera penglihatan manusia? Semua itu, dan semua ”benda yang tidak dapat dilihat tapi ada” yang bisa anda pikirkan, memiliki efek yang dapat diamati secara langsung. Udara, saat ia bergerak sebagai angin, membuat daun bergoyang. Magnet mempengaruhi kompas. Radiasi mempengaruhi pencacah Geiger. Listrik mempengaruhi voltmeter. Hidrogen bila ketemu dengan oksigen terbakar. Tidak seperti perbuatan tuhan, semua ini 100% terprediksi, dapat di uji dan dapat diperiksa berulang kali; tidak pernah ada kasus dimana hidrogen tidak terbakar bila ketemu dengan oksigen atau magnet tidak berpengaruh pada jarum kompas. Pada dasarnya, untuk semua ”benda yang tidak dapat dilihat tapi ada” , kita punya alat atau cara yang dapat mendeteksi keberadaannya. Jadi, bisakah anda menciptakan alat yang dapat mendeteksi adanya “medan tuhan”? Mungkin bisa – dan bila ada, ateis tidak punya lagi posisi yang kuat. Tapi hingga sekarang, alat demikian tidak ada, jadi ateis tetaplah ateis.
    Kelas lain argument memuat keadaan pikiran manusia: emosi, perasaan, pikiran. Saya sangat siap mengatakan kalau harapan dan rasa kasih sayang tidak ada di bumi, katakanlah, 350 juta tahun lalu di Zaman Devon. Apakah rekan-rekan teis siap mengatakan kalau tuhan tidak ada pula di masa itu? Saya ragu. Namun bila memang, maka kita sama-sama setuju. Bagi saya tuhan tampak merupakan keadaan pikiran manusia yang sama seperti cinta, marah atau harapan: sebuah fenomena subjektif yang tertutup pada diri seseorang. Saya tidak berurusan dengan tuhan semacam itu. (Hanya saja jangan bilang kalau Dia menjawab doa anda.)

    keberatan lawan yang paling mungkin dengan apa yang saya katakan di atas mungkin seperti ini, “Ya, Tuhan lebih mirip keadaan pikiran daripada benda yang tak terlihat, kecuali kalau Dia ada terlepas dari manusia, ada sebelum manusia, dan akan selalu ada biarpun manusia telah punah.” Ya, bolehlah, tapi bukankah argument demikian memusnahkan analogi antara tuhan dan pikiran manusia tadi?
    Bila tuhan ada, maka dia ada dalam kelasnya sendiri terpisah dari benda yang tidak terlihat atau keadaan pikiran. Itu tuhan yang mesti teis pertahankan.

  3. setuju..pada inti hukum fisika, sebuah materi bisa dianggap ada apabila materi itu dapat terukur..
    tapi ketika materi itu tidak dapat terukur, maka hal tersebut silakan dianggap tidak ada.. itulah yang membedakan tuhan dengan angin, magnet, dan lainnya meskpun benda2 tersebut tidak terlihat…

    bagi saya, tuhan adalah sebuah konstruksi pemikiran manusia yang lahr ribuan tahun lalu sebagai jembatan instan antara keterbatasan pemikiran manusia dengan fenomena alam yang berusaha dijelaskkan oleh manusia…
    tuhan itu ada hanya sebagai sebuah pemikiran..

    trimakasih telah berkomentar..ditunggu komentar lainnya..

  4. menarik..tapi saya rasa persoalan cinta lebih misterius daripada Tuhan. Selogis apa pun cinta lebih rumit tuk dijelaskan. Permainan hormon di atas menurut saya bukan menjelaskan mengapa manusia bisa jatuh cinta, tapi apa yang terjadi saat manusia jatuh cinta. Ada hal-hal di dunia ini yang immateril dan terkadang tidak perlu dicari penjelasannya. Dengan begitu kita menikmati hidup 🙂

    • Terima kasih atas pendapatnya yang menarik, ya, saya setuju, hal akan lebih indah ketika masih ada bagian yang dibiarkan menjadi misteri.. 🙂

Tinggalkan komentar